Pepatah mengatakan ‘seperti ngengat tertarik api’ yang menggambarkan ketertarikan seseorang pada sesuatu yang bisa menghancurkan dirinya sendiri. Lalu mengapa ngengat tertarik cahaya?
Ketika memperhatikan orang lain, motivasi yang mendasari perilaku seperti ini biasanya diidentifikasi sebagai nafsu, serakah atau keinginan untuk mengejar sesuatu. Namun, ngengat tak seperti itu.
Terdapat beberapa teori mengenai alasan serangga melakukan tindakan bunuh diri pada api lilin dan lampu buatan. Namun mengejutkannya, teori-teori itu hanyalah tebakan-tebakan belaka dan belum ada yang mendekati kebenaran.
Beberapa ahli entomologi yakin, ngengat bergerak mendekati sumber cahaya tak alami karena cahaya itu memancarkan sistem internal navigasi. Ngengat sendiri tak berevolusi di sekitar lampu terang.
Ngengat berkembang dengan cahaya di Bumi yang berasal dari bulan, matahari dan bintang-bintang jauh. Dalam perilaku yang disebut orientasi melintang, beberapa serangga yang dinavigasi dengan terbang pada sudut konstan relatif tertarik pada sumber cahaya jauh, seperti bulan.
Tapi di sekitar lampu buatan manusia, seperti api unggun atau lampu teras, sudut pada sumber cahaya berubah seiring dengan terbangnya ngengat. Sumber cahaya ini membingungkan ngengat.
“Ngengat menjadi silau karena cahaya dan entah bagaimana menjadi tertarik,” kata entomolog ngengat Jerry Powell dari University of California , Berkeley . Sayangnya, teori ini masih terbentur beberapa masalah.
Bola lampu (bohlam) mungkin benda baru pada skala waktu evolusi namun api unggun telah ada sejak 400 ribu tahun silam. Bukankah seleksi alam telah membunuh ngengat ini melalui insting yang memberitahunya untuk melakukan kamikaze tiap kali merasa dibutakan cahaya?
Lebih lanjut, ngengat mungkin tak menggunakan navigasi melintangnya. “Saya meragukan gagasan ngengat menggunakan cahaya bulan sebagai perangkat berorientasi,” paparnya.
Hal itu hanya mungkin dilakukan oleh spesies yang bermigrasi dalam proses dimana mereka mungkin menggunakan bulan dengan cara yang sama. “Namun, hal itu tak menjelaskan mengapa 50-70% ngengat kecil dan tak bermigrasi juga menggunakan cahaya bulan untuk navigasi”.
Teori yang sama sekali berbeda pertama kali dikemukakan pada 1970 oleh Philip Callahan, entomologi yang bekerja untuk Kementrian Pertanian AS. Callahan menemukan, spektrum cahaya inframerah api lilin mengandung frekuensi yang sama persis dengan cahaya yang dilepaskan feromon (hormon seks) ngengat betina.
Sebelumnya, Callahan berhasil menemukan, feromon itu bercahaya dan feromon yang bersinar sangat samar-samar. Singkatnya, ngengat jantan tertarik lilin di bawah keyakinan palsu bahwa ngengat betina mengirimkan sinyal seks.
“Ngengat jantan sangat tertarik dan mati dalam upayanya mencoba mengawini api lilin,” tulis Callahan pada koran Applied Optics di 1977. Hipotesis ini juga memiliki celah.
Menurut Powell, sinar ultraviolet (UV) jauh lebih menarik bagi serangga mana pun, termasuk ngengat, dibandingkan dengan cahaya inframerah. Selain itu, tak ada alasan sinar UV mengingatkan ngengat pada seks.
Sinar UV tak mengandung panjang gelombang yang sama dengan feromon bercahaya mereka. Para entomolog menemukan, ngengat kurang tertarik pada lampu buatan selama pekan bulan purnama, dan observasi ini memicu teori lain.
“Dulu, orang beranggapan Anda tak bisa menangkap ngengat menggunakan lampu UV saat bulan purnama karena ngengat-ngengat ini terbang menuju bulan,” kata Powell. Namun hal itu konyol, ngengat tak dapat melanjutkan siklus hidup jika terbang ke bulan, ungkapnya.
Gagasan itu memang terbukti salah. “Studi yang dilakukan di Skandinavia menemukan, bukannya ngengat tak tertarik lampu ketika bulan bersinar terang, melainkan karena ngengat tak aktif selama waktu dimana langit tak segelap biasanya,” katanya.
Biasanya, saat malam tiba dan kegelapan memicu aktivitas ngengat. Jadi, belum ada hipotesis yang benar-benar bisa membuktikannya mengapa ngengat ‘senang pada api?’ Untuk saat ini, pertanyaan itu tetap menjadi salah satu misteri terbesar. (inilah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar