VIVAnews - Manusia mampu bertahan di zaman es (ice age) dan pandemi penyakit berbahaya -- hingga mampu menjadi spesies dominan di Bumi.
Manusia juga mampu beradaptasi hampir di mana saja di muka Bumi, dan memanfaatkan kekuatan alam, memecah atom dan menyambungkan DNA untuk membuat spesies baru. Namun, para ilmuwan memperingatkan, teknologi bisa berarti bencana bagi manusia -- menggiring manusia ke kepunahannya sendiri.
Manusia harus belajar bijak menggunakan teknologi, misalnya untuk mencegah bencana alam seperti tumbukan asteroid. Juga bijak menghindari kemusnahan diri sendiri dengan berhati-hati menggunakan bioteknologi dan nanoteknologi.
"Saat sebuah peradaban memiliki kekuatan luar biasa dalam mengendalikan alam, memanipulasinya, dan semakin kuat dalam hal peralatan dan kemampuan, risikonya makin besar," kata antropolog sosial dan direktur Global Warming Policy Foundation di London, Inggris, seperti dimuat laman LiveScience.
Teknologi membuat manusia menjadi superior dalam jangka panjang, namun sejarah membuktikan ini bisa jadi bencana. Misalnya, perang nuklir di era perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Atau saat Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak akibat bom atom. Namun, nuklir bukan satu-satunya teknologi bermata dua.
"Tantangan terbesar yang kita miliki adalah bahwa teknologi berkembang dengan kecepatan eksponensial. Artinya, kemampuan mempengaruhi dunia dan masyarakat secara keseluruhan beralih, dari entitas pemerintah ke sekelompok orang, bahkan individu," kata Peter Diamandis, Ketua dan CEO X Prize Foundation.
Teknologi memungkinkan hampir semua orang untuk mengubah dunia dalam waktu dekat, untuk lebih baik atau justru lebih buruk.
Sebagai contoh, peta digital sekuens DNA dan peralatan laboratorium yang lebih murah memungkinkan individu mendesain organisme sintetis baru yang bisa merevolusi dunia pengobatan atau era baru energi bersih.
Sebaliknya, itu bisa memberi ruang para individu untuk menyebarkan penyakit baru yang mematikan -- versi rekayasa ulang virus influenza 1918 yang menewaskan 50 juta orang.
Menurut Diamandis, tantangan terbesar datang dari bioteknologi. Menyusul, perkembangan nanoteknologi, dan kecerdasan artifisial (artificial intelligence atau AI) -- mahluk buatan manusia bisa menyaingi kecerdasan penciptanya.
Jika di masa depan, AI -- dalam bentuk robot misalnya -- menjadi makin cerdas dan tak terkendali, manusia mungkin menghadapi situasi yang sama berbahayanya dengan gempuran mahluk luar angkasa.
Soal ancaman dari luar planet Bumi, astrofisikawan Stephen Hawking bahkan telah mengeluarkan peringatan agar manusia tidak melakukan kontak dengan para alien -- meski eksistensi mahluk luar angkasa belum dipastikan.
Namun, ancaman nyata dari laur angkasa bisa datang dalam bentuk yang lebih 'masuk akal' -- asteroid raksasa bisa sewaktu-waktu menghantam Bumi. Manusia bisa saja bernasib sama dengan Dinosaurus, punah.
***
Salah satu tantangan terbesar yang juga dihadapi manusia saat ini adalah perubahan iklim. Para ilmuwan bahkan memperkirakan dengan perubahan iklim yang tak terkendali, manusia akan punah hanya dalam waktu 100 tahun.
Frank Fenner, ahli mikrobiologi Universitas Nasional Australia (ANU) -- yang membantu melenyapkan penyakit cacar -- mengatakan pada The Australia bahwa ia percaya kelebihan penduduk, perusakan lingkungan dan terutama perubahan iklim akan 'mengunci' nasib manusia.
Para ilmuwan mendorong manusia untuk bertindak mengurangi dampak perubahan iklim.
Menurut ahli geokimia dan ilmuwan iklim dari Columbia University Lamont-Doherty Earth Observatory, New York mengatakan solusi teknologi perubahan iklim sudah ada. Tapi Broecker skeptis pemerintah atau industri akan berusaha memperlambat naiknya kandungan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer.
"Kenaikan CO2 tidak akan membunuh banyak orang."Tapi itu akan mengubah ekologi planet ini, mencairkan gunung es, mengasamkan lautan, mengubah ketersediaan air dan hasil budidaya pangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar